Selasa, 15 September 2015

KABUT ASAP, SALAH SIAPA?


     Bagaikan keledai jatuh dilubang yang sama. Seperti itulah gambaran yang sesuai dengan persoalan kabut asap yang melanda sebagian wilayah Indonesia. Kompas.com meyebutkan empat puluh delapan tahun silam, 2 November 1967, KOMPAS memberitakan, ”Palembang Diselimuti Kabut Tebal”. Kini, setelah hampir setengah abad, bencana asap itu masih terjadi. Layaknya sudah menjadi langganan bahkan sebagian masyarakat yang tertimpa musibah ini menganggap kabut asap sebagai bagian dari iklim cuaca. Musim penghujan, musim kemarau dan musim asap.

 Gambar 1. Anak-anak harus menembus asap untuk menuntut ilmu

          Berdasarkan data rekapitulasi luas kebakaran hutan dari laman milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang diakses pada Selasa, 15 September 2015. Lahan yang terbakar pada 2015, terdata ada di 13 provinsi. Lahan terbakar terluas berada di Riau, mencapai 2.643,00 hektar (ha). Provinsi dengan luas lahan terbakar signifikan lainnya ialah Kalimantan Barat (995,32 ha), Kalimantan Tengah (1.220,40 ha), Jambi (2.217,00 ha), Jawa Barat (1.029,70 ha), dan Sumatera Selatan (476,57). 

Gambar 2. Hutan telah terbakar

       Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho melaporkan, asap dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan masih mengepung banyak wilayah. Berdasarkan pantau Satelit Terra dan Aqua pada Senin (14-9-2015) pukul 05.00 Wib, hotspot di Sumatra 1.143 titik yaitu di Bengkulu 13, Jambi 234, Lampung 69, Riau 78, Sumbar 25, dan Sumsel 724. Hotspot di Kalimantan 266 titik yaitu Kalbar 26, Kalsel 74, Kalteng 164, dan Kaltim 2.
       Selain itu, Sutopo memaparkan kondisi kepungan asap yang demikian menyebabkan kualitas udara memburuk. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Pekanbaru 984 psi (berbahaya), Siak 467 psi (berbahaya), Dumai 464 psi (berbahaya), Palembang 550 psi (berbahaya), Pontianak 307psi (Sangat Tidak Sehat), dam Banjarbaru 449 psi (Sangat Tidak Sehat). Total nilai kerugian akibat bencana asap di tahun 2015 belum bisa dihitung. Namun, berdasarkan data BNPB, kerugian akibat kebakaran di Indonesia yang terbesar terjadi pada tahun 1997, yaitu mencapai 2,45 miliar dollar AS.
         Kebakaran terjadi karena masifnya alih fungsi di lahan gambut yang sangat mudah terbakar saat musim kemarau. Modus pembakaran hutan umumnya dilakukan karena dinilai lebih ekonomis dalam membuka lahan sebab bisa memangkas biaya operasional, biaya tenaga kerja, bahan bakar dan biaya lain. Cara ini dianggap lebih cepat dan sisa abu kebakaran memberikan kesuburan pada tanah.
       Entah siapa yang harus disalahkan dan bertanggung jawab. Semua saling tuduh dan saling merasa tidak memiliki kewenangan penuh untuk memberantas persoalan klasik ini. Jika dirunut semua ini akan bermuara pada pembiaran dan hukum yang lemah serta cenderung tumpul ke atas. Sehingga, jangan heran para pelaku pembakaran tidak pernah jera. Cukup dengan membayar denda, uang jaminan serta hukuman penjara ringan. Para pelaku perusak jutaan kesehatan pernapasan manusia, pemboros anggaran Negara dalam mengatasi kepekatan kabut asap melalui hujan buatan dan upaya lainnya, penghalang ribuan anak-anak menuntut ilmu ke sekolah, dan penghambat roda perekonomian di wilayah terdampak bisa berlenggang menghirup udara segar. Sungguh tak sebanding.
         Komitmen pemerintah dalam memerangi kabut asap harus bisa terbuktikan. Bukan saja untuk menyelamatkan muka Indonesia dalam MoU yang dibuat dengan Negara tetangga tetapi demi kesejahteraan masyarakat Indonesia pula. Langkah awal dalam memerangi kabut asap agar tidak terjadi kembali di tahun mendatang ialah dengan audit lingkungan terhadap semua pihak, yang terkait dengan  bencana asap atau pembakaran hutan dan lahan. Bukan pembakar hutannya saja tapi lembaga pemerintah, termasuk kelompok masyarakat yang hidup di dekat hutan atau yang mengelola lahan untuk pertanian.
        Selanjutnya, memberikan edukasi mengenai pelestarian lingkungan kepada masyarakat sejak dini tentang manfaat keberadaan hutan. Dan terakhir, pemerintah memperberat hukuman bagi pembakar hutan dan perusak lingkungan. Tidak lagi ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal hingga mencapai Rp15 miliar yang dirasa sangat ringan bagi perusahaan dengan profit menjanjikan, Pemerintah harus memperbesar denda dengan nilai yang lebih fantastis bagi pelaku atau perusahaan yang melakukan pembakaran hutan. Dan menetapkan hukuman mati sebagaimana hukuman bagi pelanggaran narkotika.
        Jika pemerintah masih saja abai dan aksi mengatasi saat ada kabut asap saja. Agaknya Indonesia masih akan lama terbebas dari kepungan asap tiap tahunnya. Dikarenakan ketidakjelasan antara komitmen dan tindakan yang diwujudkan untuk memerangi kabut asap.

#SaveHutanIndonesia
#BloggerMuslimah
#SpecialBlogWalking



Sumber foto :
Gambar 1. http://pojoksatu.id/pojok-news/2015/09/14/riau-darurat-kabut-asap-tour-de-siak-2015-batal/
Gambar 2. http://www.mongabay.co.id/2014/07/27/pemerintah-punya-alat-canggih-yang-bisa-tangkap-pembakar-hutan-bagaimana-caranya/





28 komentar:

  1. Salah siapa ya? Pertama, salah yang membakar lahan deh. kalau dia nggak mbakar lahan nggak akan ada kabut asap.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mba,, salah orang yang menganggap uang itu lebih berharga.hehe..makasi mak Ety dah mampir

      Hapus
    2. tapi belakangan kebakaran hutan rata2 disebabkan karena siklus alam, karena udara sudah cukup panas, meskipun pembakaran hutan untuk membuka lahan juga menjadi salah satu sebab kabut asap tersebut..

      Hapus
    3. iya mba, bisa jadi itu faktornya. cuma kalau di Indonesia belum se ekstrim di eropa saat musim panas (Hutan bisa terbakar sendiri karena suhu terlalu tinggi). Makasi mba Lina dah mampir

      Hapus
  2. Minimal mulai dari diri kita sendiri, menghapus semua memori di otak bahwa membakar sampah adalah cara termudah menghilangkan sampah. Jika masih hobi membakar sampah, maka kita akan terbiasa untuk menghilangkan sesuatu dengan membakar termasuk membakar hutan. :)

    BalasHapus
  3. Minimal mulai dari diri kita sendiri, menghapus semua memori di otak bahwa membakar sampah adalah cara termudah menghilangkan sampah. Jika masih hobi membakar sampah, maka kita akan terbiasa untuk menghilangkan sesuatu dengan membakar termasuk membakar hutan. :)

    BalasHapus
  4. tentunya salah pelaku dan yang membiarkan ya mbak salahnya..tapi kenapa pelaku tega merusak alam dan kesehatan manusia, lalu pemerintah sebagai yang punya kuasa terkesan membiarkan saja...semua bermuara dari keimanan kita tentunya. melakukan kerusakan dilarang Allah Swt, kalau keimanan berbicara insya allah nggak gini jadinya..nah, penguatan iman dan penerapan aturan Allah Swt saya yakini sebagai solusinya mbak

    BalasHapus
  5. salah siapa yah? hayo ngaku.
    itu salah saudara kita, ya kita juga semua terasuk pelaku dan juga korban. termasuk pelaku karena lalai menjaga alam sehingga menimbulkan celah berbuat membakar hutan. Dan jadi korban karena asap yang ditimbulkan bukan hanya berdampak bagi lingkungan tapi juga kesehatan. Kita mau salahin? orang yang bakar? orang yang mana? terus mau mendukung? dukung siapa? ini sih karena manusia nya sendiri

    BalasHapus
  6. Semoga tidak terjadi kesalahan yang sama di lain hari

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin..di riau sudah mulai membaik kondisi udaranya. tapi di kampung saya di ketapang kalbar masih kabut mba

      Hapus
  7. Komitmen pemerintah dituntut di sini ya Mbak. Supaya cepat selesai masalah asap ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mak sepakat, awalnya judul artikel ini "komitmen memerangi kabut asap". tapi dirasa terlalu kaku.jadi tak ganti deh.hee..biar lebih ringan

      Hapus
    2. iya mak sepakat, awalnya judul artikel ini "komitmen memerangi kabut asap". tapi dirasa terlalu kaku.jadi tak ganti deh.hee..biar lebih ringan

      Hapus
  8. pembakaran hutan ber moduskan demi kesuburan tanah? oh well oh well pemerintah, hell NO! Modus pembakaran tanah yang asli adalah mereka mungkin menebang pohon secara diam diam untuk keuntungan PRIBADI.

    BalasHapus
  9. Ga bs nyslahin siapa siapa. Cuma bisa berdoa yang terbaik saja bagi masyarakat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba moga segera turun hujan. Sampe skrg di kampung saya masih kabut

      Hapus
  10. Yg salah : para pelaku 'terselubung' dan hukum yang tebang pilih...

    BalasHapus
  11. Iya mba Liswanti, terimakasih juga dengan tema BW yang pas banget dengan kondisi di kampung saya yang jauh disana

    BalasHapus
  12. Berharap cepat berlalu...agar bisa melihat langit biru

    BalasHapus
  13. susah sih ya, ini sistem 'mafia' yang luar biasa. kalau aja pemerintahnya gak gampang disuap *eh hehehehehe....

    terasa banget ada yang janggal sama pemerintah daerah & pusat yang cenderung 'anteng-anteng' aja sama masalah ini.

    BalasHapus
  14. Tulisannya bagus sekali, disertai data-data yg bisa jadi dasar argumen. Dan sejatinya, para mafia pembakar lahan itu hanya memenuhi pikirannya dgn uang, tdk memikirkan nasib bangsa. Gemes sendiri :-(

    BalasHapus